Kalimantan BaratNasional

Rp1 Triliun untuk Hutan Kalbar, Masyarakat Adat Hanya Kebagian Rp26 Ribu?

Bagikan berita:

Media Jabar. Net. Kapuas Hulu – Setiap pagi, Pak Acan (52) melangkah ke kebun karet peninggalan orang tuanya. Dulu, kawasan itu rimbun dengan pepohonan, menjadi sumber pangan, obat, dan air bagi keluarganya. Kini, yang tersisa hanyalah deretan parit kering setelah izin perkebunan sawit masuk.

“Hutan kami hilang, janji ganti rugi tak pernah jelas. Kalau ada dana Rp1 triliun, kami tak tahu ke mana arahnya. Bagi kami, hutan bukan angka, tapi hidup,” ujarnya lirih.

Kisah Pak Acan bukan satu-satunya. Ratusan bahkan ribuan keluarga adat di Kalimantan Barat mengalami nasib serupa. Data resmi menunjukkan sejak 1990, luas hutan Kalbar menyusut 27 persen—dari 7,5 juta hektare menjadi 5,4 juta hektare pada 2020. Artinya, rata-rata 200 hektare hutan hilang setiap hari, setara 300 lapangan bola.

Di tengah krisis ini, publik disuguhi kabar “besar”: Kalbar mendapat hibah internasional Rp1 triliun dari Green Climate Fund (GCF) untuk periode 2025–2032. Jumlah itu tampak fantastis di atas kertas. Namun, hitungan ekonomi karbon justru menunjukkan betapa kecilnya nilai tersebut.

Target Kalbar adalah pencegahan emisi 14 juta ton CO₂eq. Jika harga karbon internasional berkisar USD 5–10 per ton, nilainya mencapai Rp7,3–14,7 triliun. Artinya, hibah Rp1 triliun hanya menutup 7–14 persen dari kebutuhan riil.

Lebih ironis lagi, jika dibagi untuk lima juta penerima manfaat, jumlahnya hanya Rp26 ribu per orang per tahun. Nominal ini bahkan tidak cukup membeli dua liter bensin atau sekilo daging ayam. Pertanyaannya: benarkah ini solusi untuk hutan Kalbar?

Proyek GCF juga memunculkan pertanyaan soal transparansi. Istilah emissions avoided kerap digunakan, tetapi data rinci perhitungannya jarang dipublikasikan. Sementara itu, deforestasi berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan program restorasi yang baru efektif dimulai 2025.

“Hibah Rp1 triliun memang terdengar besar, tapi dibandingkan kerusakan yang terjadi, jumlah itu tak ada apa-apanya,” tegas Johandi, Ketua Jurnalis Media Indonesia (JMI) DPD Kalbar yang juga masyarakat pribumi. “Dana ini jangan hanya berhenti di laporan proyek. Harus ada pengawasan transparan dan dana langsung menguatkan masyarakat adat.”

Johandi menambahkan, masyarakat adat seharusnya diposisikan sebagai garda terdepan dalam pengelolaan hutan. “Kalau hutan rusak, yang pertama merasakan dampaknya adalah masyarakat adat. Karena itu, dana hibah harus menyentuh mereka langsung, bukan sekadar lewat birokrasi panjang. Hutan Kalbar adalah warisan dunia, tapi tanggung jawab utama menjaga tetap ada di pundak rakyatnya,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *