Sarankan Restorative justice kepala desa Yang Korupsi, BPI KPNPA RI Desak Wakil Ketua KPK Dicopot

Bagikan berita:

Media Jabar.Net.Jakarta – Kamis (02/12/2021) Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia ( BPI KPNPA RI ) Melalui Ketua Umum Tubagus Rahmad Sukendar menentang keras dan mengatakan Restorative Justice tidak boleh dibenarkan dalam penegakan supremasi hukum dengan kategori kejahatan luar biasa terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi tanpa terkecuali.

Hal ini buntut dari saran yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia ( KPK RI ) Alexander Marwata akan mengedepankan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di desa melalui restorative justice terhadap kepala desa yang korupsi dalam acara peluncuran pilot project Desa Anti-Korupsi, Rabu (01/12) di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

” Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa, Saya menentang & mengecam keras jika ada Usulan Restorative Justice yang akan diterapkan terhadap Penanganan Kasus Korupsi yang melibatkan siapapun tanpa terkecuali kepala Desa.

Ditengah Jaksa Agung berjuang dalam penerapan tuntutan hukuman Mati para Pelaku tindak Pidana korupsi, eh Malah sekelas Wakil Ketua KPK kok bisa-bisanya berpikir mengedepankan Restorative Justice. jelas-jelas kemunduran Berpikir seorang penegak hukum yang bertugas khusus pemberantas Korupsi.

Jika dalih tidak paham administrasi menjadikan seseorang lantas dimaklumi Melakukan korupsi, Jadi apa gunanya Kementerian PDTT, ada kepala daerah dan Dinas PMD Provinsi hingga Kabupaten yang notabene adalah pembina Para kepala desa. Mereka menggunakan Anggaran Belanja dana desa untuk kegiatan Bimbingan Teknis dan peningkatan kemampuan aparatur desa mereka selama ini tujuan salah satunya untuk membuat mereka mengerti administrasi ” Tegasnya Kepada Reporter kami.

Pria yang pernah digadang-gadang menjadi calon Anggota Dewan Pengawas KPK menghawatirkan usulan mengedepankan Restorative Justice terhadap penanganan korupsi yang dilakukan kepala Pemerintahan desa, jika dibiarkan tanpa pertentangan dan pengawasan Akan menjadi awal terbukanya kesempatan juga penerapan yang sama kepada Kepala pimpinan pemerintahan Daerah di masa yang akan datang.

” Jujur saja Saya mulai Hawatir dengan pola-pola pikir yang muncul hingga berani memberikan saran keringanan hukuman terhadap kejahatan luar biasa korupsi yang hari ini baru pada tahapan kepala desa dengan dalih tidak paham administrasi. Analisa Saya menduga kuat ini hanya akal-akalan cikal bakal akan ada lagi saran Restorative Justice yang sama untuk dikedepankan kepada kepala pemerintahan daerah Kabupaten/ kota lalu ke Provinsi dan seterusnya.

Saya mendesak kepada para Pimpinan Dewan Pengawas KPK, Bapak Alex Marwata tolong dievaluasi atas kemunduran berpikir nya itu, Kok bisa-bisanya pegawai KPK yang digaji besar dengan fasilitas lengkap diberikan oleh Negara tidak memahami apa itu Korupsi. Kalo perlu saya kan surati presiden untuk disarankan Copot saja itu dari Jabatan Wakil Ketua KPK ” Tegasnya Kepada Reporter kami.

Ditempat terpisah, dihubungi melalui telepon selulernya Direktur Investigasi dan Intelijen BPI KPNPA RI Sari Darma Sembiring disela-sela kegiatannya di provinsi sumatera utara menyesalkan atas saran wakil ketua KPK yang akan mengedepankan Restorative Justice kepada kepala desa yang korupsi dengan dalih tidak paham administrasi.

” Saya menyesalkan usulan dan saran yang diutarakan Bapak Alex Marwata di sebuah acara formal KPK dan didengar langsung oleh publik, akan hadirnya solusi terhadap Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang mengedepankan Restorative Justice dan memberikan hukuman hanya cukup Pemberhentian Dengan Tidak Hormat sang oknum pejabat kepala desa dengan dalih Tidak paham administrasi.

Seperti nya beliau tidak paham apa itu Korupsi selama ini yang merupakan penyakit Moral yang dimiliki oknum pejabat pemerintah desa, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat disebabkan oleh sifat tidak bersyukur atas apa yang dimiliki mereka saat ini. Sejak Tahun 1999 BPI KPNPA RI telah hadir meneliti faktor utama terjadinya tindak pidana Korupsi yang dilakukan mereka ( Kades) itu bukan karena LAPAR, Tapi Karena RAKUS ” Ungkapnya.

Pria yang disapa Angling Darma ini menuturkan penyebab masih adanya Korupsi adalah beban logistik kepala desa yang besar sejak pelaksanaan kampanye pada Pilkades, untuk memenangkan pertarungan sudah dimulai dengan cara-cara yang korupsi.

Oleh karena itu pejabat Kepala Pemerintahan Desa saat ini ataupun yang sebelumnya diduga melakukan tindak Pidana korupsi disebabkan diantara mereka maju pada kompetisi Pilkades dengan melakukan kecurangan pemberian uang kepada masyarakat desa agar mereka dipilih .

” Saya, Anda dan kita sama-sama pahamlah. Faktor utama beban politik mereka dalam masa perjuangan di Pilkades adalah beban awal korupsi dana desa akan dimulai. Dan ini sudah pasti menjadi beban pertama dan yang paling utama para oknum para pejabat desa yang melakukan pembelian suara pada saat memenangkan kursi Jabatan kepala desa. Inilah fenomena Faktor Utama dalam korupsi dana desa yang terjadi sampai saat ini.

Coba bayangkan jika mereka memang dipilih berdasarkan kejujuran tanpa kecurangan, saya yakin kemungkinan tindak pidana Korupsi dana desa akan lebih kecil angka probabilitas untuk terjadi ” Ungkapnya menambahkan.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan KPK akan lebih mengedepankan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di desa melalui restorative justice. Keberadaan desa antikorupsi merupakan perwujudan tujuan SDGs desa.

Ini disampaikan Marwata dalam peluncuran pilot project Desa Anti-Korupsi, Rabu (1/12) di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Panggungharjo terpilih sebagai percontohan nasional desa antikorupsi.

“Awal peluncuran dana desa, kami menerima banyak laporan mengenai dugaan penyimpangan. Ada ribuan. Namun berdasarkan kewenangan KPK sesuai pasal 11 UU KPK, karena kepala desa bukan penyelenggara negara maupun penegak hukum, KPK tidak bisa menindak,” katanya.

Namun dalam persoalan ini KPK melakukan koordinasi dengan Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk klarifikasi.

Marwata mengatakan banyak aparat desa yang diproses hukum terkait penyelewengan dan penyimpangan dalam penggunaan dana desa.

“Rata-rata mereka lemah dari sisi administrasi. Banyak yang tidak baca UU. Ini yang ditindak aparat penegak hukum. Saya pikir ini kita ikut bersalah, karena menangkap orang yang tidak paham apa salahnya,” jelasnya.

Karena itulah, dirinya mengajak perlunya memikirkan langkah dalam aspek pendidikan dan bimbingan soal manajemen dan administrasi pengelolaan dana desa. Demikian juga soal penanganan hukumnya jika terjadi penyimpangan.

Menurutnya, restorative justice perlu dikedepankan. Restorative justice merupakan proses saat semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran bertemu dan bersama-sama menyelesaikan akibat dari suatu pelanggaran.

“Kalau dibawa ke ranah hukum, biaya untuk proses hukum lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan, terutama di luar Jawa di mana pengadilan tipikor hanya ada di ibu kota provinsi,” jelasnya.

Karena itulah, jika ada kepala desa yang melakukan korupsi, Marwata menyarankan agar kades itu dipecat secara tidak hormat. Jika memang tidak ada peraturannya, warga desa harus diajak membuat aturannya demi menimbulkan efek jera.

“Saya pikir itu lebih efektif dibandingkan memenjarakan orang. Lah dia punya istri, anaknya tiga, bisa bubar semua. Hal seperti itu barangkali bisa menjadi renungan dan introspeksi bersama,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *