Pekerja Migran Masih Banyak Persoalan Kekerasaan Dan Pelecehan Yang Harus Di Selesaikan
Media-jabar.net | JAKARTA — Menilai diskusi kali ini, membahas pekerja migran yang kaitannya dengan kemanusiaan. Masih banyak persoalan kekerasan dan pelecehan yang harus di selesaikan kedepan.
“Berkaitan dengan nasib masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri, apalagi banyak kasus yang dihadapi, baik itu hukuman mati atau disiksa oleh majikannya. Ini bagi kami sebagai pendukung pemerintah patut kita soroti dan awasi,” kata Ketua Pelaksana Konvensi Kabinet Jokowi Jilid II, Adi Kurniawan, Kamis (26/9), saat acara Diskusi Publik “Potensi Pekerja Migrant Dalam Membangun Ekonomi Desa”, di Riung Sunda Hotel Ibis Cikini, Jakarta Pusat.
BNPT2TKI menata atau mengembangkan potensi yang ada di Pekerja Migran Indonesia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Aspataki), Saiful Mashud mengatakan adanya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Aspataki masih bisa mengirim tenaga migran ke luar negeri.
“Proses pekerja migran, sejak dari awal sampai lulus dapat sertifikat kompetensi, sampai ditempatkan ke luar negeri. Itu adalah kerja keras kami. Selain membantu pekerja migran kesana-kemari, akomodasi dan sebagainya, keluarga yang ditinggal pun masih kita pinjamkan uang sesuai dengan kebutuhan masing-masing,” ungkap Saiful.
Lebih lanjut, kata Saiful mengungkapkan UU 18 Tahun 2017 mengenai fungsi perusahaan tidak dimulai dari kepengurusan dokumen. Mereka dipaksa mengetahui informai itu, sehingga pekerja migran menyiapkan dokumen di Kemnaker. “Terutama untuk mendapatkan penjelasan dan apa yang dibutuhkan, termasuk beberapa hal yang nantinya diperlukan negara,” ungkap Saipul.
Hal itu, merugikan calon migran, karena mereka harus memikirkan bagaimana mengurus dokumen ke luar negeri tanpa bantuan lembaga. Ditambah, aturan itu mengharuskan calon pekerja migran untuk menunggu anggaran dari pemerintah.
Jadi kalau anggarannya belum ada, kalau keluarganya lapar, meskipun keluarganya butuh duit, tetap tidak bisa pergi. “Harus nunggu dulu, antri. Inilah yang menurut kami, warga negara, migran kita didiskriminasi,” katanya. (dade)
Editor & Penerbit: Den.Mj