Menristekdikti Berencana Libatkan BNPT Dan BIN Dalam Memilih Rektor PTN
Media-jabar.net | JAKARTA — Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir berencana melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam memilih rektor perguruan tinggi negeri (PTN). Pelibatan kedua lembaga bertujuan menangkal, sehingga calon rektor yang terpapar paham radikalisme tak terpilih.
Upaya ini dinilai berlebihan. Menurut saya, maaf ya, agak berlebihan. Apalagi yang dicalonkan rektor orang-orang yang dikenal masyarakat. “Setiap calon rektor memiliki rekam jejak yang jelas dan telah diketahui masyarakat kampus, termasuk pihak-pihak yang memiliki hak suara dalam pemilihan rektor,” kata Rektor Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), Prof. Dr. H. Sumaryoto, Jumat (27/9), saat di temui Ruangan Rektor, di Jakarta.
Ada unsur senat di sana. Universitas itu, terdiri dari banyak orang dan para stakeholder. Memang hak pemerintah, tapi berlebihan karena seolah dicap sedemikian parah terjangkit radikalisme. Sebelum seseorang menjadi calon rektor, telah berlangsung proses seleksi yang ketat dan bisa dipertanggungjawabkan. “Saat bergelar profesor, yang merupakan syarat menjadi rektor, seseorang sudah diuji oleh senat,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Sumaryoto mengatakan ujiannya termasuk meliputi moral kandidat. Untuk jadi profesor saja enggak mudah. Sudah jadi doktor nanti disidang di senat, ‘Pantas enggak nih orang jadi profesor?’. “Termasuk masalah akhlak. Pintar kalau orangnya enggak benar enggak bisa,” ungkap Sumaryoto.
BIN maupun BNPT sendiri dipandang memiliki kewenangan menindak atau menyelidiki kapanpun dan siapapun, yang dikategorikan penganut radikalisme atau sosok yang membahayakan negara. Tanpa perlu dilibatkan secara langsung dalam pemilihan rektor, kedua institusi sudah bisa mengambil tindakan. Mereka juga bisa memberikan informasi kepada Menristekdikti sebagai bekal mengambil tindakan, jika orang yang sudah menjabat rektor sekalipun, ternyata terpapar radikalisme.
Sumaryoto, mengungkapkan ini radikalisme juga harus disamakan, diseragamkan. Kalau nanti ketika jadi rektor lalu menyimpang (berdasarkan informasi BIN, BNPT dan Kepolisian), ya tindak saja, proses. Kok sampai milihnya sedemikian menyeramkan. “Mustahil jika seorang calon rektor memiliki pandangan radikal, sebab selain dari kalangan ilmuwan atau akademisi secara usia calon rektor merupakan orang yang sudah berpikir dan bertindak matang,” katanya.
Kalau umur sudah 50 tahun lebih, mau ngapain ya (bersikap radikal)?. Kecuali mahasiswanya. Mahasiswa bisa saja di sini mahasiswa, di luar berbeda. (dade)
Editor & Penerbit: Den.Mj