Keimanan Sebagai Pondasi Wacana Ekonomi Syariah

Bagikan berita:

Media-jabar.net | Opini – Seperti yang dikirimkan dari tulisan opini singkat renisumarni896@gmail.com kepada redaksi Media-jabar.net, baru-baru ini Menteri keuangan Sri Mulyani membuat wacana pengembangan ekonomi syariah dalam acara Anugerah Adinanta Syariah 2023 yg di pantau secara daring di Jakarta jumat (26-05-2023). Sri Mulyani menyebutkan  sebagai negara yang mayoritas muslim terbanyak yaitu 86,7 persen atau sebanyak 237 juta jiwa dan jumlah institusi keuangan syariah terbanyak di dunia, pemerintah ingin memposisikan Indonesia sebagai pelaku utama sekaligus produsen pusat halal sedunia.

Begitu juga dengan wacana dari menteri BUMN yaitu Erick  Thohir. Dia juga memiliki wacana dalam pengembangan ekonomi syariah yaitu dengan menyiapkan Menara Kembar atau Twin Tower untuk mendukung pusat kota (City Center) dan rencana lainnya, yaitu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.

Dia menilai untuk memindahkan IKN ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sementara negara sekarang dalam keadaan ekonomi yang sulit. Bahkan angka kemiskinan pun masih meningkat dan masalah yang lainnya. Ada kemungkinan untuk pembangunan IKN ini negara akan berhutang kembali ke luar negeri seperti yang pernah disampaikan pemerintah. Tapi mereka yakin ini semua akan teratasi jika wacana ekonomi syariah dijalankan.

Lantas bagaimana Islam mendudukkan penerapan ekonomi syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara?

Dalam islam, menerapkan hukum syariah, termasuk dalam hal ekonomi, merupakan konsekuensi keimanan dan pelaksanaan kewajiban. Dan bukan saja ekonomi, tapi seluruh urusan kehidupan harusnya didasarkan pada aturan atau syariat Islam. Ini sebagaimana firman Allah SWT: 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (keseluruhan) dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 208)

Sesuai tuntunan Islam, seseorang dan negara, tidak boleh memgambil syariat atas dasar asas manfaat saja. Karena ini sangat berpotensi terjadi pilah pilih hukum syariat. Jika dinilai manfaat diambil, jika dinilai tidak ada manfaat tidak diambil. Semisal saat riba dianggap bermanfaat, maka riba pun diambil. Padahal Islam secara tegas melarang riba. 

Dalam wacana ekonomi syariah terlihat bahwa asas pengambilan ekonomi syariah berdasarkan asas manfaat. Yaitu dengan pelaksanaan beberapa hukum syariat dalam hal ekonomi, dinilai akan mendorong ekonomi lebih baik, menurut mereka. Meskipun kita yakini bahwa di balik pelaksanaan syariat pasti akan membawa kebaikan. Saat kita meyakini kebenaran syariat atas dasar keimanan dan menerapkannya secara keseluruhan atas dasar ketakwaan, maka pasti akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat. Ini jika kita menerapkan ekonomi syariah, politik syariah dan segala urusan kehidupan dengan syariah. 

Alhasil, jika kita ingin sungguh-sungguh memperbaiki keadaan, maka sudah semestinya kita mengambil dan menerapkan Islam secara keseluruhan, sehingga terwujud negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. In syaa Allah. Karena Allah swt sendiri yang memberikan jaminannya. 

“Dan sekira nya penduduk negeri ini beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan.” (Q.S. Al-A’raf ayat 96). Allahu A’lam bish shawab. (Red)

Editor & Penerbit : Den.Mj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *