Dosen Unnes Dibebas Tugaskan Karena Mengkritik Jokowi Melalui Akun Facebooknya

Bagikan berita:

Media-jabar.net | Jakarta — Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) dibebas tugaskan karena mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui akun Facebooknya. Pro-kontra muncul menyikapi persoalan ini. menilai keputusan skorsing terhadap dosen bernama Sucipto Hadi Purnomo itu, terlalu cepat diambil.

“Mengingat, sanksi yang dijatuhkan termasuk kategori berat. Sanksi ada urutannya, dari mulai ringan, teguran, tertulis, peringatan, sampai pada sanksi yang agak berat. Itu ada,” kata Rektor Universitas Indraprasta (Unindra), Prof. Dr. H. Sumaryoto, Kamis (20/2), di Jakarta.

Tidak bisa serta-merta langsung diskors. Skors itu agak berat, setelah skors itu dikeluarkan. Menelaah perkara tersebut secara seksama, sebelum memberikan hukuman, menurut Sumaryoto perlu dilakukan. Kapasitas, bobot pelanggaran dan rujukannya, kata dia harus dipastikan terlebih dahulu. Upaya ini agar terciptanya rasa keadilan bagi semua pihak. “Harus dilihat dulu, tidak dengan secara emosional, karena tidak suka dengan seseorang. Sehingga semua bisa merasakan keadilan. Karena hukum itu ada untuk menciptakan keadilan. Sehingga tidak muncul kesanya terlalu terburu-buru, terlalu berat,” ujarnya.

Sumaryoto mendukung adanya proses hukum baik secara internal maupun eksternal. Sebab kebebasan berpendapat yang menjadi hak setiap warga negara, tetap ada batasannya. Meski begitu, ia beranggapan tak masalah dosen perguruan tinggi negeri atau pun pegawai negeri sipil (PNS) mengkritisi pemerintah. Asal, kritik disampaikan secara tepat dan terukur.

Ada teknik penyampaian, tidak mungkin seorang dosen teriak-teriak di pinggir jalan. Seorang dosen kan ilmuwan, jadi etikanya harus diperhatikan. Walaupun substansinya betul, tapi kalau penyampaiannya salah ya ada sanksinya. “Menilai adanya sikap yang tidak tepat yang diambil kedua belah pihak dalam permasalahan ini. Seperti sikap Sucipto yang menantang Rektor Unnes Fathur Rokhman berdebat, guna membuktikan kesalahannya,” ungkap Sumaryoto.

Dosen terlalu cepat menyikapi, rektornya terlalu cepat menghakimi. Jadi dua-duanya tidak dalam kapasitas yang rasional, mungkin lebih cenderung ke emosional. (dade)

Editor & Penerbit: Den.Mj

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *